MASALAH HIDUP ANAK KOST

MASALAH HIDUP ANAK KOST
DENGAN penampilan memberi maras dan wajah sendu, seorang mahasiswa datang berkonsultasi: ”Pak. Saya lagi punya masalah besar". Kiriman belum datang. Tidak bisa membayar SPP. Ini hari terakhir pembayaran SPP”. Masalah besar? “Nih uang. Bayar SPPmu”. Si Mahasiwa pamit. Membayar SPP.

Dalam kehidupan sehari-hari, beragam masalah kita hadapi. The life is problems; problems must be solve. Tidak mampu membayar SPP karena tidak punya uang, yang punya masalah diberi uang untuk membayar SPP, masalah selesai. Setiap hari ratusan masalah kita selesaikan. Semakin banyak masalah terselesaikan, semakin nyaman hidup. Orang-orang sukses adalah orang yang mampu menyelesaikan masalah. Orang-orang bermasalah adalah mereka yang hidup dengan masalah. Jangan takut masalah, tetapi … jangan mencari-cari masalah.

Begitu dalam kehidupan. Tetapi, manakala membuat karya ilmiah, skripsi misalnya, masalah harus jelas. Dipikir-pikir, dikunyah-kunyah, diukur-ukur, dan dikaji hubungkaitnya dengan persyaratan keilmiahan. Kalau sudah dianggap OK, barulah diajukan. Masalah keilmuan bukan sembarang masalah.

Ada banyak masalah yang dapat dijadikan dasar penelitian. Tetapi, bukan masalah-masalah sepele kehidupan. Masalah penelitian mempunyai karateristik tertentu; menenuhi persyaratan tertentu.

Penelitian sangat tergantung pada masalahnya. Teori, rumusan hipotesis, metode, instrumen, dan sebagainya, tidak ada artinya manakala masalahnya tidak jelas, tidak tepat, dan tidak pas. Masalah adalah landasan dasar untuk menentukan unsur penelitian lainnya.Celakanya, banyak mahasiswa bermasalah dengan masalah (penelitian). Bisa jadi karena tidak paham hakikat atau sumber-sumbernya. Menggali masalah saja bermasalah, bagaimana membuat disain atau menyelesaikannya. Untuk itu mari mantapkan hakikat masalah.

Masalah penelitian harus layak dari segi keilmuan; jelas kedudukannya dalam struktur keilmuan. Mahasiswa yang mempelajari kimia jangan meneliti masalah ekonomi. Bagaimana mungkin orang yang mempelajari prinsip-prinsip kimia meneliti kebijakan moneter; tidak cocok penggunaan metode ilmiahnya dalam mencari kebenaran ilmiahnya. Lagi pula, mana mampu mengkaji bidang keilmuan yang tidak dipelajarinya. Dan, tentu tidak pas dengan moral keilmuan (etika) atau kode etik.

Masalah penelitian bila ditinjau dari segi metode keilmuan dapat diselesaikan melalui langkah-langkah metode ilmiah. Kalau tidak, tidak mungkin masalah dapat dirumuskan, mengajukan dan menguji hotoses, sampai menarik kesimpulan akan keliru hingga hasil penelitian menjadi tak bermakna.

Masalah penelitian harus pula memenuhi kriteria kepentingan dan kegunaannya. Akan sangat tidak tepat manakala mahasiswa meneliti untuk kepentingan skripsi, karena pembimbingnya berpredikat Doktor yang Profesor merumuskan masalah selevel kajian disertasi. Itulah gunanya diperlukan pembatasan masalah, dan seterusnya. Fokus dan layak.

Sangat penting diperhitungkan kesanggupan (mahasiswa) peneliti; minat, waktu, biaya, dan seterusnya. Hanya (calon) peneliti yang tahu kemampuannya. Tidak kalah penting, variabelnya. Apakah akan dideskripsikan, menghubungan dua variabel, membandingkan, mengkaji konstribusi atas variabel lain, dan sebagainya. Ukuran ‘tidak tertulisnya’ tergantung peneliti (mahasiswa), bukan kemampuan pembimbing.
Hakikat Masalah
Secara sederhana, sesuatu dikatakan masalah apabila terdapat diskravensi antara apa yang seharusnya dengan apa yang terjadi; antara dassaen dan dasollen; antara apa yang dicita-citakan dengan apa yang diperdapat. Diskravensi itu yang harus diselasaikan. Itulah masalah.

Secara teoritik, misalnya seseorang yang menamatkan pendidikan jenjang SMTA diharapkan mempunyai kemampuan mengoperasikan 5.000 kosakata bahasa Inggris. Begitu tuntutan kurikulum. Tetapi, ketika diteliti sekelompok mahasiswa hanya mampu menguasai 100 kosakata bahasa Inggris. Timbul pertanyaan: Kenapa bisa menamatkan pendidikannya?

Pasti ada smoething wrong. Ada kesalahan entah dimana, begitu. Bisa jadi ketika mengikuti pembelajaran tidak serius, bisa jadi gurunya tidak kompeten, bisa jadi sistem evaluasi yang tidak benar, dan seterusnya. Begitu asumsinya. Masalah teridentifikasi. Lalu, tentukan mana yang akan dijadikan masalah. Begitulah proses penentuan masalah.

Satu ilustrasi yang bisa melecut kesadaran intelektual kita. Pada UN SMTP-SMTA 2008 siswa-siswa Indonesia berhasil lulus dengan sangat meyakinkan, di atas 90%. Hebat itu. Prestasi pendidikan nasional namanya. Kita harus berbangga dengan kompetensi dan kemampuan guru dalam menjalankan tugas profesionalnya. Tetapi, saudara-saudara. Ada lelucon akdemik yang tidak mudah dienyahkan begitu saja bagi mereka yang berpikir. Apa itu?

Pemerintah, dan kita semua paham, pendidikan dikeluhkan dari segala halnya. Soal kualitas hasilannya, hampir tidak ada yang tidak prihatin dan memprihatinkan. Sampai-sampai pemerintah mengeluarkan kebijakan ‘canggih’. Guru harus memadai kualifikasinya, minimal sarjana atau pemegang Akta IV. Kemudian, setelah kualifikasi terpenuhi, harus bersertifikat. Persis pekerja profesional.

Masalahnya adalah, dengan kompetensi dan kemampuan guru sekarang saja, mampu meluluskan 90% lebih anak didiknya. Kalau kualifikasi dipenuhi, sertifikat OK, sarana dan prasana memadai, apalagi gaji guru manusiawi, memangnya mau meluluskan peserta didik 1000% (seribu persen)? Berarti tidak paham statistik elementer.

Prestasi luar biasa dengan kemampuan guru sangat rendah, jelas sesuau yang ganjil; the big problem. Dimana ya masalahnya? Guru, sarana dan prasarana, gaji guru cekak, dan hal terkaitnya minus, tetapi mampu berprestasi bagus.Sampeyan bisa berasumsi, mana tahu sistem evaluasi UN dimasuki unsur-unsur ‘supranatural’.

Jangan-jangan yang ujian gurunya atau kepala Dinas Pendidikan, sebab prestasi begitu membanggakan. Lajuannya, buat apa lagi mengenjot berbagai program peningkatan pendidikan. Mengahmbur-hamburkan uang negara saja. Akan lebih bermanfaat dananya dialokasikan untuk menanggulangi kemiskinan? Lucu dan aneh. Antara kemampuan dan hasil kerja terdapat diskravensi (positif).

Kalau kita mengikuti berbagai tulisan, artikel, hasil penelitian, skripsi, tesis, dan disertasi, dapat dipastikan alpha-betha masalah pendidikan sudah terpetakan. Kondisis obyektif saat ini, di negeri tercinta, inilah puncak jutaan sarjana, magister, doktor (profesor) pendidikan. Mereka berguru ke penjuru dunia. Hasilnya? Kualitas pendidikan dikeluhkan, memprihatinkan. Ada apa dengan penanganan pendidikan nasional?

Asumsinya, bisa jadi ‘ilmu pendidikan’ tidak dikuasai mendalam, manajemen pendidikan nasional amburadul karena dijalankan oleh mereka yang tidak paham pendidikan, atau ilmuwan pendidikan itu maunya ‘tidur’ sementara pengaturan pendidikan oleh mereka yang bukan berilmu (pendidikan).

Seorang kawan pernah berseloroh, Menteri Pendidikan sampai ke Kepala Dinas Pendidikan, tidak layak dipercayakan kepada ahli pendidikan. Pokoknya, oleh ilmuwan bidang apa saja asal jangan ahli pendidikan. Mereka tidak bisa menyelesaikan masalah bidang mereka, tetapi sok jago di bidang pendidikan. Hadis Rasulullah: Kalau pekerjaan diurus oleh yang bukan ahli, tunggulah kehancuran.

Ringkasnya, begitu banyak ‘masalah’ yang dapat ‘dimasalahkan’. Tinggal memilih mana yang sesuai dengan kemampuan peneliti (mahasiswa).

Mahasiswa...
terkadang orang yang belum merasakan menjadi mahasiswa terbayang enak..
tapi...
bila merasakan nya iya akan tau Betapa Sulit dan Susahnya..
kuharap kalian tau itu..

1 komentar:

  1. Firdaus Tri Wicaksono mengatakan...:

    agus kontolmuuuuuuuuuu

Posting Komentar

Bebas berkomentar...!!!!!!!!!!!!1
tetapi Berkatalah yang sopan dan jangan menghina atau pun melecehkan seseorang,..,
kalau terpaksa terserah kalian aja lah.,,.

 
mencari masalah sex © 2011 | Designed by Chica Blogger, in collaboration with Uncharted 3, MW3 Forum and Angry Birds Online